Wayang kulit Cirebon merupakan salah satu dari keragaman wayang yang dimiliki Indonesia bersama dengan golek, klitik, dan wayang beber. Seni pertunjukan ini bukanlah hal yang baru di kawasan Indonesia. Praktik seni pertunjukan ini telah menjadi bagian integral dari berbagai budaya dan etnis di wilayah ini selama berabad-abad. Dari Pulau Jawa hingga Bali, Lombok hingga Kalimantan, berbagai jenis wayang kulit bermunculan, mencerminkan kekayaan dan keragaman budaya setempat.
Seni pertunjukan ini mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Nusantara. Cerita-cerita epik Hindu-Buddha, seperti Ramayana dan Mahabharata, menjadi inti dari pertunjukan ini. Wayang kulit telah berkembang secara signifikan dalam konteks agama Islam, terutama di Pulau Jawa, berkat peran penting Sunan Kalijaga dalam menggabungkan Islam dengan seni wayang. Bahan pembuatan karakter wayang pun diubah dari kertas menjadi kulit sapi atau kerbau untuk mematuhi prinsip Islam. Pada kesempatan ini Naba Transport akan mengulasnya secara lengkap.
Sejarah Wayang Kulit Cirebon
Sejarah wayang kulit Cirebon memiliki akar sejarah yang erat dengan datangnya salah satu dari sembilan Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga tiba di Cirebon dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam, dan salah satu media yang digunakan olehnya adalah wayang kulit.
Dalam budaya Cirebon, Sunan Kalijaga diidentifikasi sebagai Ki Dalang Panggung, yang merupakan tokoh penting dalam budaya pedalangan. Namun, ada versi lain mengaitkannya Ki Dalang Panggung dengan Syekh Siti Jenar, bukan Sunan Kalijaga.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga memperkenalkan Suluk atau Syair ‘Malang Sumirang’. Suluk ini kemudian menjadi bagian penting dari identitas kultural Cirebon. Eksistensinya tidak hanya sebagai seni pertunjukan tetapi juga sebagai medium yang berperan dalam sejarah, budaya, dan dakwah Islam di wilayah ini.
Perkembangan di Era Kesultanan Cirebon
Awalnya manuskrip-manuskrip pewayangan Cirebon di masa lalu banyak dikoleksi oleh bangsawan di Keraton dan pecinta sastra. Namun, pada akhir abad ke-19, pertunjukan wayang kulit Cirebon di Keraton mengalami penurunan karena keterbatasan dana.
Menurunnya popularitas kesenian ini dipengaruhi juga oleh pertunjukan budaya Barat. Popularitas sepak bola di kalangan bangsawan Cirebon kota yang pada masa lalu di sebut sebagai Kuta Raja juga turut menyebabkan menurunnya minat terhadap wayang kulit.
Berbeda dengan di pedesaan, di mana kesenian ini tetap berperan penting dalam perayaan adat. Kesenian ini digunakan dalam ritual agama Islam seperti sunatan dan pernikahan, serta dalam acara adat seperti festival panen padi (Mapag), Ruwatan Desa, dan Nadran.
Macam-Macam Wayang Kulit Cirebon
1. Gaya Leran (Utara)
Gaya Leran atau utara sering juga disebut sebagai gaya Gegesik. Gaya ini berasal dari wilayah Gegesik di bagian utara kabupaten Cirebon, yang pada awalnya merupakan daerah pedesaan agraris. Saat ini, tanah budaya Gegesik mencakup hampir semua desa di kecamatan Gegesik dan Kaliwedi di kabupaten Cirebon.
Dalam era modern, gaya Gegesik telah diwakili oleh dua belas dalang profesional yang aktif dalam pertunjukan gaya Gegesik. Musisi asal Gegesik yang sering mengiringi para dalang juga dikenal karena tingkat profesionalisme mereka yang tinggi. Ini adalah contoh bagaimana warisan budaya seperti wayang kulit Cirebon tetap hidup dan berkembang dalam masyarakat modern.
2. Gaya Kidulan (Selatan)
Gaya pedalangan yang terkenal dalam seni wayang kulit adalah gaya Selatan, termasuk gaya Palimanan di Cirebon yang memiliki pusat pertunjukan di kecamatan Palimanan dan Gempol, kawasan industri Cirebon. Keunikan dari gaya Palimanan terletak pada penggunaan tangga nada heptatonis atau pelog dalam musik gamelannya, berbeda dengan kebanyakan gaya pedalangan lain yang lebih sering menggunakan tangga nada pentatonis atau Prawa.
Karakter Arjuna, yang dimainkan oleh Ki Sukarta (dalang wayang kulit Cirebon gaya Palimanan), merupakan warisan berusia ratusan tahun dari Ki Buyut Gunteng, buyut Ki Sukarta. Para dalang dalam gaya ini sering memilih tema-tema Islami dalam pertunjukan, seperti dalam lakon “Semar lunga kaji” yang menceritakan perjalanan haji Semar ke Mekah dan konflik dengan saudaranya yang beragama Hindu, yaitu Batara Guru atau Siwa di wilayah Asia Selatan.
3. Gaya Wetanan (Timur)
Dikenal juga dengan sebutan gaya Dermaga Wetan, mayoritas pedalangan gaya ini berlokasi di sepanjang jalur timur kabupaten Cirebon. Contohnya ada gaya Sempangan yang terkenal dengan Ami Banowati sebagai dalangnya. Sayangnya, gaya ini menghadapi ancaman kepunahan karena kurangnya penerus muda yang mewarisi tradisi pedalangannya.
Wilayah penyebaran Wayang kulit Cirebon gaya Dermaga Wetan mencakup beberapa daerah yang tersebar, tetapi membentuk koloni pedalangan sendiri. Beberapa di antaranya termasuk pedalangan Sempangan di kecamatan Suranenggala, pedalangan Kedawung, pedalangan Beber di kecamatan Beber, dan pedalangan Japura di kecamatan Astanajapura. Di wilayah ini, gaya bermain wayang kulit Cirebon bervariasi tergantung pada silsilah dan hubungan dalang dengan wilayah asalnya.
4. Gaya Kulonan (Barat)
Tidak seperti tiga gaya sebelumnya, pgaya pedalangan kulonan ini lebih dikenal di Kabupaten Karawang dan Subang. Desa-desa di beberapa kecamatan di Karawang dan Subang memiliki peran penting dalam melestarikan seni ini. Gaya sunggingan (pewarnaan) pada gaya kulonan hampir serupa dengan gaya kidulan, mungkin karena adanya pertukaran pengalaman dan wayang antara kedua wilayah tersebut dalam sejarahnya.
Ciri Khas Wayang Kulit Cirebon
Meskipun tetap mengikuti konsep dasar wayang kulit purwa, wayang kulit Cirebon memiliki ciri khasnya sendiri dalam seni kriya. Dengan karakter pewayangan yang berbeda dalam tatahan dan sunggingannya, serta pegangan yang unik berbentuk bawang merah dari tanduk kerbau. Selain itu, gelung pada karakter pewayangan Cirebon tidak sampai menyentuh ubun-ubun, menciptakan postur yang langsing, mirip dengan wayang kulit Bali. Selan itu, berikut ciri khas lainnya.
Ukiran dan Motif
Motif khas Cirebon yang sering digunakan dalam tatahan dan ukiran wayang adalah Tumpengan, Kepuh, Wringin, Prabon, Ron Jubahan, Ron Gajah Ngulis, Sumping Jubahan, Sumping Gajah Ngulih, Sumping Sekar Meloki, Wadasan, dan Sunggingan.
Selain itu, juga dikenal dengan beragam motif pewarnaan yang mencakup Karakter Duryodana dalam gaya Kulonan (Cilamaya), Sekabra, Rujak Wuni, Kembang Pari, Walang Kerik, Menyan Kobar, dan Mega Mendung.
Tidak hanya dalam tatahan, ukiran, dan sunggingan, wayang kulit Cirebon juga memadukan motif-motif batik mega mendung khas Cirebon pada karakter-karakternya. Dengan demikian, wayang kulit Cirebon menjadi salah satu warisan seni yang mencerminkan kekayaan budaya dan seni rupa khas daerah tersebut.
Unsur Kaligrafi
Warisan unsur dakwah Islam dalam seni ini, diwujudkan dengan hadirnya unsur kaligrafi. Seperti contohnya pada Gunungan Jali atau Jaler karya Rastika, yang memadukan kaligrafi Arab berupa Tahlil, Syahadat, dan Shalawat dengan gambaran Ganesha.
Karakter-karakter seperti Cungkring (Petruk dalam budaya Jawa) dan Bagal Buntung juga menampilkan kalung yang mengandung lafaz Allah dan Muhammad. Hal ini menunjukkan upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam seni pertunjukan.
Babad dan Karakter
Terdapat perbedaan dalam penyebutan nama babad, karakter pewayangan, dan bahasa dialognya jika dibandingkan dengan versi wayang kulit purwa dari Yogyakarta atau Surakarta. Misalnya, Babad Alas Amer menjadi Babad Wanamerta, Kala Pracona menjadi Naga Pracana, dan Kala Srenggi disebut sebagai Kala Jenggi. Terdapat juga kesinambungan unsur pra-Islam dengan unsur agama Islam dalam wayang kulit Cirebon, yang tercermin dalam karakter-karakter seperti Naga Liyong dan Guru Dorna yang berjubah, walaupun masih ada pengaruh unsur pra-Islam seperti Ganesha dalam karakter Gunungan Jali atau Jaler. Lebih lanjut, bahasa dan dialog dalam pertunjukan wayang kulit Cirebon memiliki nuansa Islam yang lebih dalam dibandingkan dengan versi wayang kulit purwa.
Bahasa Pedalangan
Bahasa pengantar dalam pagelaran wayang kulit Cirebon mengalami perubahan seiring waktu. Sebelum tahun 1980-an, bahasa yang digunakan adalah bahasa Cirebon dengan berbagai dialek, tak terkecuali dialek Indramayu yang dikenal sebagai basa dermayon. Namun, setelah tahun 1980-an, bahasa pengantar dalam pagelaran mulai mencampurkan bahasa Cirebon dengan bahasa Indonesia, tetapi tetap mempertahankan logat khas Cirebon.
Fungsi Wayang Kulit Cirebon
1. Sebagai Diplomasi Budaya
Di Cirebon, Wayang kulit memegang peran penting dalam menjembatani kesinambungan antara masa pra-Islam dan masa Islam melalui bentuk, ukiran, dan kaligrafi yang harmonis. Ini menjadikan seni wayang kulit sebagai duta diplomasi yang mempertemukan dan menyatukan berbagai warisan budaya.
Kesenian ini mencerminkan keberhasilan diplomasi lintas budaya di masa lalu dalam skala regional. Keberhasilan ini juga mencerminkan sejarah Cirebon sebagai kesultanan yang menghargai keragaman budaya, etnis, dan kepercayaan dalam wilayah pesisir yang berarti “bersatu padu” sesuai dengan asal katanya, yaitu “Caruban.”
2. Sebagai Media Dakwah
Dalam aspek spiritualitas, wayang kulit juga menjadi media dakwah yang berakar dalam budaya Indonesia. Kesenian ini menggabungkan seni pertunjukan dengan pesan-pesan moral dan agama. Melalui cerita-cerita epik seperti Ramayana dan Mahabharata, kesenian ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan kepada penontonnya.
Para dalang, sebagai narator cerita, seringkali memasukkan ajaran-ajaran agama, etika, dan kebijaksanaan dalam dialog karakter-karakter wayang, menjadikan kesenian ini sebagai alat yang kuat untuk menyebarkan ajaran agama Islam dan nilai-nilai kehidupan yang baik kepada masyarakat Indonesia.
Pagelaran Wayang Kulit di Cirebon
Pagelaran Wayang Kulit di Cirebon kerap kali dihadirkan dalam upacara adat, ritual ataupun perayaan penting di Cirebon. Tradisi ini juga hadir dalam pernikahan, khitanan, dan banyak upacara adat lainnya sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya leluhur.
Pagelaran wayang kulit semakin jarang dijumpai di Cirebon, salah satu faktornya adalah biaya sewa yang tinggi. Kini, kebanyakan hanya kalangan elit yang mampu mempertunjukkan wayang kulit dalam acara hajatan mereka untuk memberikan kegembiraan warga-warga sekitar.
Antusiasme masyarakat Cirebon sendiri masih begitu besar untuk menonton pagelaran wayang kulit, terutama dari kalangan paruh baya hingga lanjut usia. Hal ini ditandai dengan membludaknya jumah penonton yang hendak menonton wayang kulit. Bahkan tidak sedikit masyarakat dari kalangan petani ataupun nelayan datang berombongan menggunakan kendaraan seperti pick up.
Bagaimana? Menarik bukan menguliti sejarah wayang kulit Cirebon? Meskipun tantangan akan perubahan sosial ada di depan mata, tetapi penting bagi kita untuk terus menghargai dan melestarikan seni tradisional ini sebagai bagian integral dari identitas dan kekayaan budaya kita.
Bagi Anda yang ingin mengeksplore lebih jauh tentang budaya Cirebon, maka bisa langsung datang berkunjung ke kota ini. Anda bisa datang ke museum-museum keraton untuk bisa menjumpai benda pusaka ini. Seperti halnya Keraton Kacirebonan yang menyimpan wayang yang terbuat dari kulit manusia ataupun Keraton Kasepuhan yang menyimpan wayang kulit berusia lebih dari 500 tahun.
Jelajahi kekayaan budaya Cirebon dalam satu waktu dengan sewa kendaraan harian di Naba Transport. Tersedia berbagai jenis unit kendaraan mulai dari city car hingga Big MPV untuk rombongan. Jika ingin datang berombongan, maka bisa sewa mobil Elf yang punya kapasitas hingga 18 penumpang.
Call Us
Follow Us
- Instagram : naba.transport
- Facebook : Naba Transport
- Twitter : @nabatransport